Blogger Tips and TricksLatest Tips For BloggersBlogger Tricks

PUISI, AKU & BINTANG

Dandan yang aneh, . . .
Bangun pagi, merupakan rutinitas keseharianku. Aku buka jendela kamar kos-kosanku yang menghadap ke arah mentari tersenyum. Setelah semalaman terlelap tidur dalam dongengan suara binatang-binatang malam.
Jam dinding kamar bergerak alun-alun menunjukkan pukul 05.00 pagi. Ku sempatkan diriku menyatu dengan alam, melamun panjang dan menerawang ke masa depan dengan khayalan-khayalan. Sudah 1 bulan lebih aku tak melakukannya, karena kesibukan menjadi editor majalah kampus yang sudah ku geluti selama 2 semester ini.

Padahal melamun di pagi hari merupakan rutinitas sejak aku masih duduk di bangku SD dulu. “Pekerjaan ini terasa banget ¬bebannya. Apalagi menjelang penerbitan majalah kampus, ditambah rubrik baru untuk lomba puisi.” Gumamku dengan mulut ngedumel.
Dari lantai bawah terdengar suara motor matik yang membunyikan klakson 3 kali yang merupakan kebiasaan teman redaksiku sebagai password.
“Mi, ayo berangkat ke base camp, ini udah jam berapa? Ntar kita telat lho.. Hari ini kita harus menyeleksi puisi buatan orang-orang idiot yang ikut lomba.” Teriak Ami yang menembaki diriku dengan serbuan perkataan seperti Pak TNI yang sedang berlatih menembak.

”Sebentar...” Jawabku lirih. Aku pikir dia mengerti jawabanku itu. Jawaban yang membuat dirinya kesal karena harus menunggu. Tebakanku pasti benar. Dia naik dan masuk ke kamarku, dia hafal betul tempat persembunyianku. ”Huft.. Aku hafal tingkahmu, Am.” Gumamku lagi sambil berlalu ke arah kamar mandi.
$$$

Aku buka kamar dengan santai dan menaruh handuk basah di dekat pintu kamar. Tiba-tiba, dengan mata tajam, Ami menyorotiku seperti tertuduh dalam meja pengadilan.
Sergapku cepat seperti menghindar, ” Kamu apaan sih. Nafsu ngeliatin aku yang habis mandi.”
”Bodo.. Ngapain, buruan ganti baju, pokoknya 5 menit harus sudah siap. Awas lho!!” Ancamnya. ”Jangan lupa pake kemeja warna putih celana jins”
”Iyaw..iyaw..nona kaca mata.” Ledekku padanya, yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan jins yang baru dibelinya kemarin. Rambut panjang yang digelung dengan karet gelang dan kaca mata detektif yang menempel erat di depan matanya. Seakan penyelidik ulung redaksi yang siap memangsa buas setiap nara sumber.
Berlalu melewati pintu kamar, dia turun menapaki tangga kayu. Kemudian selang beberapa menit, aku sudah di bawah untuk siap berangkat.
Dia pun tersenyum kecil kepadaku. Dia melihat ada yang aneh atau suka sama dandan gayaku hari ini. Pikirku sambil membonceng motor matiknya.
”Najmi, dandanmu aneh hari ini.” Ledek Ami kepadaku sambil mengendarai motornya.
”Aneh apanya??” Tanyaku dengan penasaran.
”Lihat bando pink di kepalamu. Ngga’ biasanya penampilanmu gitu, Norak!!” Ketawa cekikikan.
“Biarin, tampil beda donk. Mungkin ada cowok ganteng dari planet lain.” Belanya sambil salah tingkah.
Percakapan pun berlangsung saling meledek dan dibumbui dengan canda tawa di atas kendaraan yang mereka tumpangi.
$$$

Kantor redaksi majalah kampus,
Base camp majalah kampus, penuh kertas menumpuk peserta lomba yang sudah diletakkan di mejaku. Pemandangan yang menarik di pagi hari yang penuh kesibukan.
Semua mata melotot kepadaku sambil bisik-bisik ke samping kanan-kiri mereka. Seakan melihat setan cantik yang nongol siang hari. “Ini pasti gara-gara bandoku, biarin!” Pikirku dalam hati sambil ketawa puas yang dikira tak tahu..
“Kita bakalan seharian di sini, Naj.” Teriak Ami padaku yang sejak tadi melototi meja yang penuh kertas itu.
“Ngga’ masalah, yang penting beres. Kita langsung pilih puisi yang bagus dan buang yang idiot.” Jawabku tegas.
Seharian aku dan Ami menatap kertas putih yang penuh curhatan hati. Ini membuatku begitu cepat bekerja, karena mereka yang buat hanya bualan kata dan pemilihan kata semata. “Puisi rayuan gombal semua” Bisik Ami padaku pelan.
Aku mulai lelah dengan semua tumpukan kertas-kertas itu. Sejenak aku menyalakan kipas angin yang sedari tadi dicuekin di ruangan ini. Ami pun kelihatan berkeringat dan melepas kacamatanya untuk mengucek-ucek matanya yang sudah lelah.
“Mi, aku mau ke perpus, baca majalah dulu. Penat aku!” Pintaku padanya.
“Jangan lama-lama. Ntar aku mati garing di sini.” Jawab Ami dengan muka bawelnya.
$$$

Siang yang panas ini terasa sejuk saat memasuki ruangan perpus yang dingin dengan AC yang melambai-lambai dan ribuan buku berteriak supaya bisa dibaca setiap orang yang masuk ke ruangan ini. Mataku tertuju kepada majalah masakan berwarna merah itu, terletak di pojok ruangan tepat di tengah-tengah rak. Sehingga aku mudah menggapainya tanpa harus menjinjing kakiku.
Aku melangkah menyusuri rak buku dengan membuka-buka majalah itu. Tak sengaja aku menabrak seseorang tepat di depanku. Aku langsung cepat-cepat minta maaf padanya, “Sorry..” Ucapku lirih sambil memandangi sesosok laki dengan rambut acak-acakan.
Anehnya dia memakai pakaian yang begitu rapi hanya rambutnya yang kacau. “Oh tak apa, santai saja.” Tukasnya yang mebuatku tersadar seketika dari lamunan yang ku rasakan begitu panjang.
Aku pun melanjutkan langkah kakiku menuju tempat duduk yang menjadi tempat favorit di perpus ini.
$$$

Tumpukan kertas itu sudah di lahap Ami. Dia sudah memisahkan 10 peserta lomba yang menurutnya bagus. Ada satu peserta yang mebuatnya ingin tahu, “Bintang” pikirnya dalam hati, “Kenapa dia tiba-tiba ikut?? Padahal waktu aku tawarin, dia bilang ngga’ mau??” Aneh pikirnya, Ami.
Rasa ingin tahunya pun membawa Ami untuk mengambil Hp yang sedari tadi diam tak ada yang sms.
“Bin, kamu ikut lomba puisi di redaktur majalahku yaw”
Sms Ami singkat, dan berharap segera di balas karena puisi Bintang masuk dalam 10 nominasi.
“Mi, udah beres semua?” Tanyaku pendek
“Sudah, itu numpuk di sebelahku. Capek banget.” Jawab Ami sambil merebahkan tubuhnya ke tempat pojokan ruangan.
Aku pun membaca tumpukan kertas yang masuk nominasi itu, sambil mengoceh apa yang tadi aku alami di perpus.
$$$

Bintang merogoh saku celananya, dan melihat handphonenya. “Ada sms masuk dari tadi.” Gumamnya.
Tangannya pun bergerak kesana kemari memencet huruf-huruf di Hp-nya untuk membalas sms dari Ami.
“Iya, Mi. Ntar malam minggu aku ke kosmu. Aku cerita sama kamu.”
Bintang berjalan melenggang dari pintu perpus dan bergerak pulang menuju kosnya.
$$$

Malam minggu di Kos,
Ami dan Bintang mengobrol dan bercanda seperti biasanya. Karena mereka hampir bertemu tiap minggunya. Mereka bersahabat sejak SMA. Mereka terkenal si Jago dan si Babon. Dua orang sahabat yang kadang akur kadang berantem kayak ayam.
Ami pun menagih janji Bintang untuk bercerita tentang lomba puisi. Bintang hanya menanggapi biasa saja tanpa ekspresi berlebih.”Cuma iseng.”
“Gila kamu ya, tapi kamu tuh nominasi terbesar untuk menjadi kandidat juara.” Timpal Ami sambil menepuk punggung Bintang. “Puisi yang kamu buat bagus banget. Aku koq belum pernah mendengar kamu bisa bikin puisi, kecuali genjrengan gitar tanpa suara dari mulutmu. Seperti malam ini.” Tambah seloroh Ami.
Bintang pun memainkan gitarnya dan mengalunkan suaranya, melantunkan bait-bait puisi yang dia kirimkan ke redaksi. Ami pun terkejut dan terdiam terpaku dalam pikirannya sendiri. Sudah hampir 6 tahun sejak kelas 2 SMA sampai semester tahun terakhir baru kali ini. Ami tersadar Bintang punya bakat yang luar biasa.
“Mi, inilah bait-bait puisi dan petikan gitar yang ku hadiahkan untukmu, sebagai seorang sahabat terbaik” Ucap Bintang yang berkaca-kaca matanya sambil memandang wajah Ami.
$$$

Aku berjalan menyusuri gang kecil setapak yang hanya bisa dilewati satu motor itu, membuatku susah berjalan karena harus bersimpangan dengan kendaraan. Kendaraan motor yang berlalu lalang menjemput pacar-pacar mereka dari sarang kosnya.
Setiba di kos Ami, aku terkejut memandangi rambut berantakan yang tak pernah disisir itu. Duduk memetik gitar berdampingan dengan Ami.
“Malem, Mi. Di sebelahmu sapa? Pacar baru? Koq ngga’ pernah dikenalin?” Tanyaku setengah bengong.
“Kenalin, ini Bintang calon juara nominasi puisi redaksi kita. Dia juga sahabat aku dan bukan pacar.” Jelas Ami dengan menyuruh mencetak tebal 2 kata terkhirnya dari kalimat yang baru dilontarkan.
“Hidup memang kejutan dan dikejutkan.” Sindirku pada diri sendiri.
“Aku pun terkejut, dalam garis kehidupan yang tak kumengerti.” Balas Bintang.
“...........................................................”
Aku dan Bintang pun sahut menyahut seperti bermain opera dengan dialog puisi-puisi orang terkenal.
Ami pun menyudahi pertautan aliran kata-kata dari mulut kami berdua yang mengalir seperti membaca teks buku yang sudah runtut ceritanya.
“Oh.. kalian diam-diam sudah mengenal. Dan membiarkan diriku seperti alien yang tinggal di planet asing.” Masygul Ami seperti orang yang hidup berjeruji dengan kami berdua.
Kemudian kami bertiga bercanda tawa dan saling bercerita kesana kemari. Aku pun mnceritakan pertemuan kami berdua kepada Ami. Cerita kami pun berlanjut panjang sampai larut malam dan waktunya pulang.
$$$

Di teras depan kamarku, aku menengadah ke atas memandangi bintang. Teman kesendirianku di kala sepi dan tempat curhat yang selalu bisa jaga rahasia. Aku termenung memikirkan kejadian mulai dari pagi sampai malam ini.
Bayangan Bintang, bintang, dan aku Najmi Nur Lailiyah. Ketiganya adalah bintang yang hanya terang di kala malam. Perasaan ini membawaku perasaan yang tak mau melepas bayangan itu. Inikah perasaan cinta yang muncul ketika bintang-bintang saling bertemu.
“Rasanya jatuh cinta itu, seperti noda yang tak bisa terhapus. Membekas dalam hati dan menyatu dalam pikiran.
Selalu ingin tahu, segala apa yang dia kerjakan. Romantis dan menarik untuk selalu menyimak tentang arti cinta.
Segalanya indah bila merasakan kedekatan dan kehangatan. Namun, terasa pahit layaknya kopi tanpa gula. Karena kehilangan manisnya cinta yang tertanam.
Memutuskan, memilih, dan menimbang segala hasrat dan keinginan, tak jua nafsu yang ikut andil dalam hal ini. Menjadikan hidup ini indah bila memaknai cinta yang mekar.”
$$$

Kedekatan ini menjadi CINTA,...
Seminggu setelah pertemuan malam itu dan 5 hari setelah penyerahan hadiah kepada Bintang sebagai juara penulisan puisi. Aku dan Bintang sering bertemu dan jalan berdua. Kedekatan kami memberikan bumbu kehidupan baru bagiku.
Dengan mimpi-mimpi indah yang sering kita perdebatkan. Sebuah keinginan untuk membuat buku puisi kita berdua, dan musikalisasi puisi dengan Ami.
Kami berdua belum membicarkannya dengan Ami. Rencananya kami berdua akan ke tempat Ami dan membicarakan mimpi kecil ini.
$$$

Ami yang kini sibuk dengan skripsinya, jarang terlihat di kampus. Dia ke kampus hanya minta konsultasi ke dosen pembimbing.
Malam ini, kami berkunjung ke tempat Ami. Dengan maksud untuk mengajaknya membuat musikalisasi puisi.
“Mi, kami berdua mengajak kamu untuk bernyanyi dalam musikalisasi puisi?” Tanyaku dengan sedikit ragu.
Ami hanya terdiam sambil menggigit kecil bibirnya. Dia pun mengangguk pertanda setuju.
“Tapi, ada satu masalah lagi. Apa nama group kita ini.” Tanya Bintang kepada kami berdua.
Kami bertiga saling berpandang-pandang lama.
“Aku punya ide, kalian kan sudah terkenal dengan Jago dan Babon. Terus tambah satu anggota lagi yaitu aku. Maka group baru kita bernama Jago Babon n’ Friend’s”
Mereka berdua saling melirik dan terdiam sejenak. Akhirnya “ Kami setuju.”
$$$

Sebulan dua bulan berjalan manggung di sana sini. Di Cafe Kemang, Cafe Kampung, Cafe Ijo, Cafe Sedap Malam, membuat kedekatanku dengan Bintang pun semakin merekah.
Kesuksesan malam itu membuat kami bertiga bahagia, serentak Bintang memelukku dan mengucap terima kasih. Akhirnya kita berpelukan sebagai tanda kebahagiaan malam ini.
Ami pun tersenyum malu-malu dan mengabarkan dia punya kabar gembira, ”Satu bulan lagi. Aku bakalan sidang skripsi.” Senyumnya dengan penuh kemenangan. “ Jangan lupa pada datang ya.” Pintanya.
$$$

Dunia seakan berakhir,
Selama satu bulan kita tak bertemu. Aku sibuk dengan dosen pembimbingku. Ami sibuk dengan persiapan sidang akhirnya. Bintang, aku tak tahu kesibukannya sekarang. Dia tak ada kabar seperti hilang tanpa jejak. Laiknya bintang malam yang tersapu oleh mendung dan rembulan pun enggan tersenyum.
Satu jam sidang Ami berlangsung, dan selama satu jam itu pula aku menunggu kedatangan Bintang. Harapan besar ingin bertemu Bintang membuatku gelisah tanpa arah. Aku seperti bingung dan linglung. Kecemasanku menjadi-jadi ketika kepalaku pusing dan pandangan kabur seketika. Sudah satu bulan aku kurang tidur dan pikiran cinta yang membabi buta dengan merindukan kehadiran Bintang
Aku pun melihat bayangan Ami kabur. Dan seterusnya aku . . .
$$$

Aku kaget setelah terbangun dari tidur yang begitu melelahkan dengan memandangi sekeliling kamar serba putih. Ibu, Bapak, dan Ami disampingku.
“Aku ada dimana?” Tanyaku spontan.
“Kamu ada di rumah sakit, Nduk. Sudah seharian kamu pingsan dan baru siuman.” Cerita ibu yang menenangkan hatiku.
“Ami, gimana sidangmu? Lancarkan.” Tanyaku sedikit khawatir.”
“Ujianku ngga’ lancar gara-gara kamu tiba-tiba pingsan.” Tuduh Ami. “Lalu dilanjutkan, setelah beberapa orang membawamu ke sini.” Tambahnya.
“Hasilnya?”
“Bagus dan lulus.”
Ami tiba-tiba menangis dan memelukku dengan hangat. Dia pun membisikiku dengan lembut di telinga sebelah kananku dan berucap “Makasih Najmi sahabatku, jangan tinggalkan aku pergi.”
Aku pun terdiam dan terpaku tak mengerti apa yang dia bicarkan. Aku menarik baju ibuku dan bertanya “Apa yang terjadi padaku?”
Ibu menjawab dengan meneteskan air mata kesedihan yang membuatku ikut menangis, “Nduk, kamu sakit leukimia.” Aku terkejut dan menangis, seakan dunia ini akan berakhir.
$$$

Penyesalan untuk sahabat,
Tiduran di tempat tidur rumah sakit selama sebulan membuatku suntuk. Padahal sudah habis 3 buku novel tebal. Pikiranku menerawang ke atas, “Apakah yang dilakukan Bintang sekarang ya. Apakah dia mengingatku?” Gumam dalam hatiku.
Tiba-tiba Ami duduk di sampingku, sedikit berbisik dia bercerita. “Sebulan kemarin aku mendapat telegram dari Bintang. Sekarang dia melanjutkan studi di Australia. Maaf aku tak memberi tahumu. Aku takut akan mengganggu kesehatanmu.” Ucap Ami sambil meneteskan air mata, “Aku tahu, kamu mencintai Bintang sejak pertemuan pertama itu. Bintang pun bilang sama aku, kalau dia pun menyukaimu.” Jelas Ami.
“Kenapa kamu baru sekarang bilang padaku, di saat aku terbujur dan tinggal menunggu kematian. Kamu membuatku tambah kacau, Mi.”
“Maaf, aku tak tahu harus gimana lagi. Orang tuamu dan dokter menyuruhku membuatmu bahagia.”
“Kamu sahabatku selama ini. Aku curhat tentang apa saja kepadamu, tanpa kecuali perasaanku ke Bintang. Tapi kenapa kau membunuh hatiku. Kamu tak memberi tahu aku. Aku tak pernah bisa tidur karena memikirkan Bintang. Dan akhirnya, kamu tahu sendiri kan.”
“Sekali lagi aku minta maaf, ini aku serahkan surat Bintang selama sebulan. Dia juga tahu kalau kamu kini di rumah sakit.” Ucap Ami yang meneteskan air mata sambil menyerahkan surat-surat Bintang selama satu bulan, kemudian dia pun pergi tanpa berani menatapku.
Aku hanya terdiam dan tak berucap lagi.
$$$

Cepat-cepat aku membaca satu persatu isi surat itu. Tiba-tiba aku meneteskan air mata mengalir menganak sungai. Dalam suratnya Bintang meminta Ami merahasiakan perasaanya kepadaku. Karena sebulan lagi dia akan kembali dari Australia.
Dalam suratnya, Bintang bercerita. Di sana dia bertemu seorang seniman musik. Seniman itu menyukai karyaku dalam bait-bait puisi yang dihasilkan dari ruh jiwa yang hidup. Kemudian bait-bait itu dijadikan lirik-lirik lagu dalam bahasa Inggris.
Aku pun semakin bersalah kepada Ami dengan menuduhnya macam-macam. Sehingga sudah seminggu ini dia tak menjengukku di rumah sakit.
Aku seperti kehilangan sayap-sayapku dan kehilangan bintang teman malamku. Ternyata aku salah, mereka berdua selalu ada untukku, dimanapun mereka menginjakkan kakinya, dan kapanpun dalam senyuman mereka.
“Aku merindukan kalian.” Teriakku keras dalam batin.
$$$

Reuni Jago Babon n’ Friend’s
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar dari luar. Aku pun berbalik arah dari tempat tidurku. Aku mencoba menebak siapa yang datang pagi ini, setelah kemarin yang menjengukku dari kantor redaksi majalah kampus. Terkecuali Ami, sahabat yang kurindukan beberapa hari ini. Aku mencoba bertanya kepada teman-teman, tidak ada yang tahu.
Kini terdengar genjrengan gitar dari balik pintu. Aku menerawang jauh ke malam minggu dulu. Aku ingat petikan melodi gitar itu. Aku meneteskan air mata yang menjadi-jadi setelah mendengar seseorang menyanyikan lagu dengan merdu. Mereka berdua datang menjengukku. Ami dan Bintang.
Ami memelukku erat dan meminta maaf dalam bisikannya. Aku pun juga.
“I Love You, Najmi. Bintangku terindah.” Ucap lirih Bintang dengan menyerahkan bunga mawar merah kepadaku dan album seniman yang diceritakan dalam suranya.
Aku terdiam dan terpaku dalam kebisuan kata-kata, tak seperti waktu awal aku dan Bintang berbincang di tempat Ami. Bersahut-sahutan seperti burung-burung di kala mentari menyapa dunia di pagi hari.
“Hidup ini adalah kejutan dan dikejutkan.” Ucap Bintang.
“Aku pun terkejut, dalam garis kehidupan yang tak kumengerti.” Tambah Ami.
Kami bertiga tersenyum, membawa kehidupanku kembali bersemangat. Kami bertiga reuni di tempat yang berbeda, tetapi dalam ikatan batin yang sama. Mengingat masa dimana kita berkumpul.
Kami bertiga menyanyikan lagu yang pernah kita bawakan di panggung-panggung cafe.
“Kini lagu ini menemaniku di tempat tidur. Dan berharap lagu ini mengiringiku ketika kematian datang menjemput.” Bisikku dalam hati.
Aku pun memeluk Ami dan menatap Bintang. Dandan yang aneh, . . .
Bangun pagi, merupakan rutinitas keseharianku. Aku buka jendela kamar kos-kosanku yang menghadap ke arah mentari tersenyum. Setelah semalaman terlelap tidur dalam dongengan suara binatang-binatang malam.
Jam dinding kamar bergerak alun-alun menunjukkan pukul 05.00 pagi. Ku sempatkan diriku menyatu dengan alam, melamun panjang dan menerawang ke masa depan dengan khayalan-khayalan. Sudah 1 bulan lebih aku tak melakukannya, karena kesibukan menjadi editor majalah kampus yang sudah ku geluti selama 2 semester ini.

Padahal melamun di pagi hari merupakan rutinitas sejak aku masih duduk di bangku SD dulu. “Pekerjaan ini terasa banget ¬bebannya. Apalagi menjelang penerbitan majalah kampus, ditambah rubrik baru untuk lomba puisi.” Gumamku dengan mulut ngedumel.
Dari lantai bawah terdengar suara motor matik yang membunyikan klakson 3 kali yang merupakan kebiasaan teman redaksiku sebagai password.
“Mi, ayo berangkat ke base camp, ini udah jam berapa? Ntar kita telat lho.. Hari ini kita harus menyeleksi puisi buatan orang-orang idiot yang ikut lomba.” Teriak Ami yang menembaki diriku dengan serbuan perkataan seperti Pak TNI yang sedang berlatih menembak.

”Sebentar...” Jawabku lirih. Aku pikir dia mengerti jawabanku itu. Jawaban yang membuat dirinya kesal karena harus menunggu. Tebakanku pasti benar. Dia naik dan masuk ke kamarku, dia hafal betul tempat persembunyianku. ”Huft.. Aku hafal tingkahmu, Am.” Gumamku lagi sambil berlalu ke arah kamar mandi.
$$$

Aku buka kamar dengan santai dan menaruh handuk basah di dekat pintu kamar. Tiba-tiba, dengan mata tajam, Ami menyorotiku seperti tertuduh dalam meja pengadilan.
Sergapku cepat seperti menghindar, ” Kamu apaan sih. Nafsu ngeliatin aku yang habis mandi.”
”Bodo.. Ngapain, buruan ganti baju, pokoknya 5 menit harus sudah siap. Awas lho!!” Ancamnya. ”Jangan lupa pake kemeja warna putih celana jins”
”Iyaw..iyaw..nona kaca mata.” Ledekku padanya, yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih dan jins yang baru dibelinya kemarin. Rambut panjang yang digelung dengan karet gelang dan kaca mata detektif yang menempel erat di depan matanya. Seakan penyelidik ulung redaksi yang siap memangsa buas setiap nara sumber.
Berlalu melewati pintu kamar, dia turun menapaki tangga kayu. Kemudian selang beberapa menit, aku sudah di bawah untuk siap berangkat.
Dia pun tersenyum kecil kepadaku. Dia melihat ada yang aneh atau suka sama dandan gayaku hari ini. Pikirku sambil membonceng motor matiknya.
”Najmi, dandanmu aneh hari ini.” Ledek Ami kepadaku sambil mengendarai motornya.
”Aneh apanya??” Tanyaku dengan penasaran.
”Lihat bando pink di kepalamu. Ngga’ biasanya penampilanmu gitu, Norak!!” Ketawa cekikikan.
“Biarin, tampil beda donk. Mungkin ada cowok ganteng dari planet lain.” Belanya sambil salah tingkah.
Percakapan pun berlangsung saling meledek dan dibumbui dengan canda tawa di atas kendaraan yang mereka tumpangi.
$$$

Kantor redaksi majalah kampus,
Base camp majalah kampus, penuh kertas menumpuk peserta lomba yang sudah diletakkan di mejaku. Pemandangan yang menarik di pagi hari yang penuh kesibukan.
Semua mata melotot kepadaku sambil bisik-bisik ke samping kanan-kiri mereka. Seakan melihat setan cantik yang nongol siang hari. “Ini pasti gara-gara bandoku, biarin!” Pikirku dalam hati sambil ketawa puas yang dikira tak tahu..
“Kita bakalan seharian di sini, Naj.” Teriak Ami padaku yang sejak tadi melototi meja yang penuh kertas itu.
“Ngga’ masalah, yang penting beres. Kita langsung pilih puisi yang bagus dan buang yang idiot.” Jawabku tegas.
Seharian aku dan Ami menatap kertas putih yang penuh curhatan hati. Ini membuatku begitu cepat bekerja, karena mereka yang buat hanya bualan kata dan pemilihan kata semata. “Puisi rayuan gombal semua” Bisik Ami padaku pelan.
Aku mulai lelah dengan semua tumpukan kertas-kertas itu. Sejenak aku menyalakan kipas angin yang sedari tadi dicuekin di ruangan ini. Ami pun kelihatan berkeringat dan melepas kacamatanya untuk mengucek-ucek matanya yang sudah lelah.
“Mi, aku mau ke perpus, baca majalah dulu. Penat aku!” Pintaku padanya.
“Jangan lama-lama. Ntar aku mati garing di sini.” Jawab Ami dengan muka bawelnya.
$$$

Siang yang panas ini terasa sejuk saat memasuki ruangan perpus yang dingin dengan AC yang melambai-lambai dan ribuan buku berteriak supaya bisa dibaca setiap orang yang masuk ke ruangan ini. Mataku tertuju kepada majalah masakan berwarna merah itu, terletak di pojok ruangan tepat di tengah-tengah rak. Sehingga aku mudah menggapainya tanpa harus menjinjing kakiku.
Aku melangkah menyusuri rak buku dengan membuka-buka majalah itu. Tak sengaja aku menabrak seseorang tepat di depanku. Aku langsung cepat-cepat minta maaf padanya, “Sorry..” Ucapku lirih sambil memandangi sesosok laki dengan rambut acak-acakan.
Anehnya dia memakai pakaian yang begitu rapi hanya rambutnya yang kacau. “Oh tak apa, santai saja.” Tukasnya yang mebuatku tersadar seketika dari lamunan yang ku rasakan begitu panjang.
Aku pun melanjutkan langkah kakiku menuju tempat duduk yang menjadi tempat favorit di perpus ini.
$$$

Tumpukan kertas itu sudah di lahap Ami. Dia sudah memisahkan 10 peserta lomba yang menurutnya bagus. Ada satu peserta yang mebuatnya ingin tahu, “Bintang” pikirnya dalam hati, “Kenapa dia tiba-tiba ikut?? Padahal waktu aku tawarin, dia bilang ngga’ mau??” Aneh pikirnya, Ami.
Rasa ingin tahunya pun membawa Ami untuk mengambil Hp yang sedari tadi diam tak ada yang sms.
“Bin, kamu ikut lomba puisi di redaktur majalahku yaw”
Sms Ami singkat, dan berharap segera di balas karena puisi Bintang masuk dalam 10 nominasi.
“Mi, udah beres semua?” Tanyaku pendek
“Sudah, itu numpuk di sebelahku. Capek banget.” Jawab Ami sambil merebahkan tubuhnya ke tempat pojokan ruangan.
Aku pun membaca tumpukan kertas yang masuk nominasi itu, sambil mengoceh apa yang tadi aku alami di perpus.
$$$

Bintang merogoh saku celananya, dan melihat handphonenya. “Ada sms masuk dari tadi.” Gumamnya.
Tangannya pun bergerak kesana kemari memencet huruf-huruf di Hp-nya untuk membalas sms dari Ami.
“Iya, Mi. Ntar malam minggu aku ke kosmu. Aku cerita sama kamu.”
Bintang berjalan melenggang dari pintu perpus dan bergerak pulang menuju kosnya.
$$$

Malam minggu di Kos,
Ami dan Bintang mengobrol dan bercanda seperti biasanya. Karena mereka hampir bertemu tiap minggunya. Mereka bersahabat sejak SMA. Mereka terkenal si Jago dan si Babon. Dua orang sahabat yang kadang akur kadang berantem kayak ayam.
Ami pun menagih janji Bintang untuk bercerita tentang lomba puisi. Bintang hanya menanggapi biasa saja tanpa ekspresi berlebih.”Cuma iseng.”
“Gila kamu ya, tapi kamu tuh nominasi terbesar untuk menjadi kandidat juara.” Timpal Ami sambil menepuk punggung Bintang. “Puisi yang kamu buat bagus banget. Aku koq belum pernah mendengar kamu bisa bikin puisi, kecuali genjrengan gitar tanpa suara dari mulutmu. Seperti malam ini.” Tambah seloroh Ami.
Bintang pun memainkan gitarnya dan mengalunkan suaranya, melantunkan bait-bait puisi yang dia kirimkan ke redaksi. Ami pun terkejut dan terdiam terpaku dalam pikirannya sendiri. Sudah hampir 6 tahun sejak kelas 2 SMA sampai semester tahun terakhir baru kali ini. Ami tersadar Bintang punya bakat yang luar biasa.
“Mi, inilah bait-bait puisi dan petikan gitar yang ku hadiahkan untukmu, sebagai seorang sahabat terbaik” Ucap Bintang yang berkaca-kaca matanya sambil memandang wajah Ami.
$$$

Aku berjalan menyusuri gang kecil setapak yang hanya bisa dilewati satu motor itu, membuatku susah berjalan karena harus bersimpangan dengan kendaraan. Kendaraan motor yang berlalu lalang menjemput pacar-pacar mereka dari sarang kosnya.
Setiba di kos Ami, aku terkejut memandangi rambut berantakan yang tak pernah disisir itu. Duduk memetik gitar berdampingan dengan Ami.
“Malem, Mi. Di sebelahmu sapa? Pacar baru? Koq ngga’ pernah dikenalin?” Tanyaku setengah bengong.
“Kenalin, ini Bintang calon juara nominasi puisi redaksi kita. Dia juga sahabat aku dan bukan pacar.” Jelas Ami dengan menyuruh mencetak tebal 2 kata terkhirnya dari kalimat yang baru dilontarkan.
“Hidup memang kejutan dan dikejutkan.” Sindirku pada diri sendiri.
“Aku pun terkejut, dalam garis kehidupan yang tak kumengerti.” Balas Bintang.
“...........................................................”
Aku dan Bintang pun sahut menyahut seperti bermain opera dengan dialog puisi-puisi orang terkenal.
Ami pun menyudahi pertautan aliran kata-kata dari mulut kami berdua yang mengalir seperti membaca teks buku yang sudah runtut ceritanya.
“Oh.. kalian diam-diam sudah mengenal. Dan membiarkan diriku seperti alien yang tinggal di planet asing.” Masygul Ami seperti orang yang hidup berjeruji dengan kami berdua.
Kemudian kami bertiga bercanda tawa dan saling bercerita kesana kemari. Aku pun mnceritakan pertemuan kami berdua kepada Ami. Cerita kami pun berlanjut panjang sampai larut malam dan waktunya pulang.
$$$

Di teras depan kamarku, aku menengadah ke atas memandangi bintang. Teman kesendirianku di kala sepi dan tempat curhat yang selalu bisa jaga rahasia. Aku termenung memikirkan kejadian mulai dari pagi sampai malam ini.
Bayangan Bintang, bintang, dan aku Najmi Nur Lailiyah. Ketiganya adalah bintang yang hanya terang di kala malam. Perasaan ini membawaku perasaan yang tak mau melepas bayangan itu. Inikah perasaan cinta yang muncul ketika bintang-bintang saling bertemu.
“Rasanya jatuh cinta itu, seperti noda yang tak bisa terhapus. Membekas dalam hati dan menyatu dalam pikiran.
Selalu ingin tahu, segala apa yang dia kerjakan. Romantis dan menarik untuk selalu menyimak tentang arti cinta.
Segalanya indah bila merasakan kedekatan dan kehangatan. Namun, terasa pahit layaknya kopi tanpa gula. Karena kehilangan manisnya cinta yang tertanam.
Memutuskan, memilih, dan menimbang segala hasrat dan keinginan, tak jua nafsu yang ikut andil dalam hal ini. Menjadikan hidup ini indah bila memaknai cinta yang mekar.”
$$$

Kedekatan ini menjadi CINTA,...
Seminggu setelah pertemuan malam itu dan 5 hari setelah penyerahan hadiah kepada Bintang sebagai juara penulisan puisi. Aku dan Bintang sering bertemu dan jalan berdua. Kedekatan kami memberikan bumbu kehidupan baru bagiku.
Dengan mimpi-mimpi indah yang sering kita perdebatkan. Sebuah keinginan untuk membuat buku puisi kita berdua, dan musikalisasi puisi dengan Ami.
Kami berdua belum membicarkannya dengan Ami. Rencananya kami berdua akan ke tempat Ami dan membicarakan mimpi kecil ini.
$$$

Ami yang kini sibuk dengan skripsinya, jarang terlihat di kampus. Dia ke kampus hanya minta konsultasi ke dosen pembimbing.
Malam ini, kami berkunjung ke tempat Ami. Dengan maksud untuk mengajaknya membuat musikalisasi puisi.
“Mi, kami berdua mengajak kamu untuk bernyanyi dalam musikalisasi puisi?” Tanyaku dengan sedikit ragu.
Ami hanya terdiam sambil menggigit kecil bibirnya. Dia pun mengangguk pertanda setuju.
“Tapi, ada satu masalah lagi. Apa nama group kita ini.” Tanya Bintang kepada kami berdua.
Kami bertiga saling berpandang-pandang lama.
“Aku punya ide, kalian kan sudah terkenal dengan Jago dan Babon. Terus tambah satu anggota lagi yaitu aku. Maka group baru kita bernama Jago Babon n’ Friend’s”
Mereka berdua saling melirik dan terdiam sejenak. Akhirnya “ Kami setuju.”
$$$

Sebulan dua bulan berjalan manggung di sana sini. Di Cafe Kemang, Cafe Kampung, Cafe Ijo, Cafe Sedap Malam, membuat kedekatanku dengan Bintang pun semakin merekah.
Kesuksesan malam itu membuat kami bertiga bahagia, serentak Bintang memelukku dan mengucap terima kasih. Akhirnya kita berpelukan sebagai tanda kebahagiaan malam ini.
Ami pun tersenyum malu-malu dan mengabarkan dia punya kabar gembira, ”Satu bulan lagi. Aku bakalan sidang skripsi.” Senyumnya dengan penuh kemenangan. “ Jangan lupa pada datang ya.” Pintanya.
$$$

Dunia seakan berakhir,
Selama satu bulan kita tak bertemu. Aku sibuk dengan dosen pembimbingku. Ami sibuk dengan persiapan sidang akhirnya. Bintang, aku tak tahu kesibukannya sekarang. Dia tak ada kabar seperti hilang tanpa jejak. Laiknya bintang malam yang tersapu oleh mendung dan rembulan pun enggan tersenyum.
Satu jam sidang Ami berlangsung, dan selama satu jam itu pula aku menunggu kedatangan Bintang. Harapan besar ingin bertemu Bintang membuatku gelisah tanpa arah. Aku seperti bingung dan linglung. Kecemasanku menjadi-jadi ketika kepalaku pusing dan pandangan kabur seketika. Sudah satu bulan aku kurang tidur dan pikiran cinta yang membabi buta dengan merindukan kehadiran Bintang
Aku pun melihat bayangan Ami kabur. Dan seterusnya aku . . .
$$$

Aku kaget setelah terbangun dari tidur yang begitu melelahkan dengan memandangi sekeliling kamar serba putih. Ibu, Bapak, dan Ami disampingku.
“Aku ada dimana?” Tanyaku spontan.
“Kamu ada di rumah sakit, Nduk. Sudah seharian kamu pingsan dan baru siuman.” Cerita ibu yang menenangkan hatiku.
“Ami, gimana sidangmu? Lancarkan.” Tanyaku sedikit khawatir.”
“Ujianku ngga’ lancar gara-gara kamu tiba-tiba pingsan.” Tuduh Ami. “Lalu dilanjutkan, setelah beberapa orang membawamu ke sini.” Tambahnya.
“Hasilnya?”
“Bagus dan lulus.”
Ami tiba-tiba menangis dan memelukku dengan hangat. Dia pun membisikiku dengan lembut di telinga sebelah kananku dan berucap “Makasih Najmi sahabatku, jangan tinggalkan aku pergi.”
Aku pun terdiam dan terpaku tak mengerti apa yang dia bicarkan. Aku menarik baju ibuku dan bertanya “Apa yang terjadi padaku?”
Ibu menjawab dengan meneteskan air mata kesedihan yang membuatku ikut menangis, “Nduk, kamu sakit leukimia.” Aku terkejut dan menangis, seakan dunia ini akan berakhir.
$$$

Penyesalan untuk sahabat,
Tiduran di tempat tidur rumah sakit selama sebulan membuatku suntuk. Padahal sudah habis 3 buku novel tebal. Pikiranku menerawang ke atas, “Apakah yang dilakukan Bintang sekarang ya. Apakah dia mengingatku?” Gumam dalam hatiku.
Tiba-tiba Ami duduk di sampingku, sedikit berbisik dia bercerita. “Sebulan kemarin aku mendapat telegram dari Bintang. Sekarang dia melanjutkan studi di Australia. Maaf aku tak memberi tahumu. Aku takut akan mengganggu kesehatanmu.” Ucap Ami sambil meneteskan air mata, “Aku tahu, kamu mencintai Bintang sejak pertemuan pertama itu. Bintang pun bilang sama aku, kalau dia pun menyukaimu.” Jelas Ami.
“Kenapa kamu baru sekarang bilang padaku, di saat aku terbujur dan tinggal menunggu kematian. Kamu membuatku tambah kacau, Mi.”
“Maaf, aku tak tahu harus gimana lagi. Orang tuamu dan dokter menyuruhku membuatmu bahagia.”
“Kamu sahabatku selama ini. Aku curhat tentang apa saja kepadamu, tanpa kecuali perasaanku ke Bintang. Tapi kenapa kau membunuh hatiku. Kamu tak memberi tahu aku. Aku tak pernah bisa tidur karena memikirkan Bintang. Dan akhirnya, kamu tahu sendiri kan.”
“Sekali lagi aku minta maaf, ini aku serahkan surat Bintang selama sebulan. Dia juga tahu kalau kamu kini di rumah sakit.” Ucap Ami yang meneteskan air mata sambil menyerahkan surat-surat Bintang selama satu bulan, kemudian dia pun pergi tanpa berani menatapku.
Aku hanya terdiam dan tak berucap lagi.
$$$

Cepat-cepat aku membaca satu persatu isi surat itu. Tiba-tiba aku meneteskan air mata mengalir menganak sungai. Dalam suratnya Bintang meminta Ami merahasiakan perasaanya kepadaku. Karena sebulan lagi dia akan kembali dari Australia.
Dalam suratnya, Bintang bercerita. Di sana dia bertemu seorang seniman musik. Seniman itu menyukai karyaku dalam bait-bait puisi yang dihasilkan dari ruh jiwa yang hidup. Kemudian bait-bait itu dijadikan lirik-lirik lagu dalam bahasa Inggris.
Aku pun semakin bersalah kepada Ami dengan menuduhnya macam-macam. Sehingga sudah seminggu ini dia tak menjengukku di rumah sakit.
Aku seperti kehilangan sayap-sayapku dan kehilangan bintang teman malamku. Ternyata aku salah, mereka berdua selalu ada untukku, dimanapun mereka menginjakkan kakinya, dan kapanpun dalam senyuman mereka.
“Aku merindukan kalian.” Teriakku keras dalam batin.
$$$

Reuni Jago Babon n’ Friend’s
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar dari luar. Aku pun berbalik arah dari tempat tidurku. Aku mencoba menebak siapa yang datang pagi ini, setelah kemarin yang menjengukku dari kantor redaksi majalah kampus. Terkecuali Ami, sahabat yang kurindukan beberapa hari ini. Aku mencoba bertanya kepada teman-teman, tidak ada yang tahu.
Kini terdengar genjrengan gitar dari balik pintu. Aku menerawang jauh ke malam minggu dulu. Aku ingat petikan melodi gitar itu. Aku meneteskan air mata yang menjadi-jadi setelah mendengar seseorang menyanyikan lagu dengan merdu. Mereka berdua datang menjengukku. Ami dan Bintang.
Ami memelukku erat dan meminta maaf dalam bisikannya. Aku pun juga.
“I Love You, Najmi. Bintangku terindah.” Ucap lirih Bintang dengan menyerahkan bunga mawar merah kepadaku dan album seniman yang diceritakan dalam suranya.
Aku terdiam dan terpaku dalam kebisuan kata-kata, tak seperti waktu awal aku dan Bintang berbincang di tempat Ami. Bersahut-sahutan seperti burung-burung di kala mentari menyapa dunia di pagi hari.
“Hidup ini adalah kejutan dan dikejutkan.” Ucap Bintang.
“Aku pun terkejut, dalam garis kehidupan yang tak kumengerti.” Tambah Ami.
Kami bertiga tersenyum, membawa kehidupanku kembali bersemangat. Kami bertiga reuni di tempat yang berbeda, tetapi dalam ikatan batin yang sama. Mengingat masa dimana kita berkumpul.
Kami bertiga menyanyikan lagu yang pernah kita bawakan di panggung-panggung cafe.
“Kini lagu ini menemaniku di tempat tidur. Dan berharap lagu ini mengiringiku ketika kematian datang menjemput.” Bisikku dalam hati.
Aku pun memeluk Ami dan menatap Bintang.

Comments (1)

bgz dik..mksih yaw